Pengertian Tahannuts, Hijrah, Suluk, dan Khalwat


      1.     Tahannuts
Secara etimologi, tahannuts berarti menyendiri, menyepi ke suatu tempat yang sunyi, bertapa, atau menjauhkan diri dari keramaian untuk berkontemplasi. Ahmad bin Faris dalam bukunya Maqayis al-Lughat mengertikan tahannuts dengan beribadah (ta’abbud).  Dalam Kamus Arab-Indonesia ditemukan arti tahannuts: 1) beribadah dalam waktu beberapa malam, 2) menjauhkan diri dari berbuat dosa, dan 3) meninggalkan menyembah berhala. Pengertian tersebut mengacu dan didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra, “Nabi pergi ke Gua Hira’ setiap malam kemudian melakukan ibadah di dalam gua itu dalam jumlah yang tak terhitung,” (HR. Bukhari). Sementara itu, menurut Nicholas Drake, tahannuts berarti upaya pencarian Tuhan yang dilakukan oleh seorang hamba dengan cara menghindarkan diri dari dunia ramai dan gangguan-gangguan yang ada dalam jiwa. 

Definisi tahannuts di atas tampaknya sejalan dengan peristiwa histori yang dialamai oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai mana disebutkan dalam kitab-kitab sirah dan hadis, sebelum diutus sebagai Rasul, Nabi mempunyai kebiasaan mengasingkan diri (khalwat) untuk melakukan meditasi dan ibadah (tahannuts). Tempat yang biasa dijadikan meditasi itu adalah sebuah gua yang dikenal dengan nama Gua Hira. Gua ini terletak kira-kira tiga mil sebelah timur laut kota Makkah di atas sebuah gunung yang sekarang bernama Jabal al-Nur. Luas dan letah Gua Hira yang jauh dari keramaian hiruk pikuk kota Makkah sangat kondusif dan memungkinkan seseorang dapat melakukan ibadah dan meditasi dengan tenang.di dalamnya terdapat sebuah lubang pintu kecil yang menghadap ke arah kota Makkah. Di tempat inilah Nabi serring melakukan meditasi dan pencerahan batin. 

Kebiasaan Nabi melakukan tahannuts ini bukan tanpa sebab. Di samping karena pada diri Nabi terdapat kecendrungan untuk melakukan meditasi religius, juga didorong oleh kondisi sosial-keagamaan masyarakat Makkah saat itu. Semula Nabi sangat terkesan dengan praktik-praktik ibadah yang dilakukan masyarakat Makkah di sekitar ka’bah. Akan tetapi, dalam praktik-praktik hina yang dilakukan secara turun temurun. Hampir tidak ditemukan rasa ketulusan dan keikhlasan pada praktik-praktik ibadah itu. Bahkan lebih jauh, Nabi mendapati mereka jauh melakukan praktik-praktik ibadah yang mengabaikan tanggung jawab terhadap Tuhan Tradisi agama Ibrahim yang hanif dan memahaesakan Tuhan (ajaran tawhid, monoteisme) telah diselewengkan dan dikotori oleh praktik-praktik kemusyrikan dengan cara menyembah berhala-berhala yang diletakan di sekitar Ka’bah dalam jumlah yang banyak. Menyadari betapa tradisi suci agama Ibrahim itu telah diselewengkan, Nabi ingin mengembalikan praktik-praktik keliru itu menuju pada praktik ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Karena itu, Nabi berusaha mencari petunjuk jalan yang benar dengan melakukan tahannuts dan berkhalwat di Gua Hira. 

Biasanya Nabi melakukan meditasi itu dalam waktu yang cukup lama. Sebelum melakukan tahannuts, biasanya Nabi mempersiapkan diri dengan membawa perbekalan dari rumah dan kembali ke rumah begitu perbekalan itu habis. Pada bulan Rajab dan Ramadhan, hampir satu bulan penuh Nabi menghabiskan hari-harinya dengan meditasi dan beribadah di Gua Hira’. Di dalam gua itu juga, beliau sering melakukan seluruh malamnya tenggelam dalam ibadah dan merenungkan rahasia-rahasia kehidupan. Dalam kegelapan malam dan suasana sekitar gua yang cukup hening, Nabi menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Sepertinya Nabi telah terhubung langsung dengan Tuhan yang Maha Meliputi seluruh jagad raya ini. Dari proses tahannuts itulah pada akhirnya Nabi memperoleh konsepsi yang benar tentang Tuhan yang Maha Tinggi, satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Dari beberapa yang dialami di Gua Hira’, Nabi kemudian dipandang sebagai manusia suci dan saleh oleh anggota-anggota keluarganya maupun para kolegannya sendiri. Hampir selama tujuh tahun Nabi melakukan kebiasaan tahannuts di Gua Hira’ untuk mencari jalan kebenaran. Menjelang enam bulan terakhir dari priode itu, Nabi semakin sering berkunjung ke Gua Hira’ dan mengalmi mimpi-mimpi baik yang saling berantai dari hari ke hari dan terbukti benar dalam kehidupannya. 

Memasuki usia 40 tahun-usia yang menandakan kematangan dan kesempurnaan Nabi mengalami peristiwa yang sangat menakjubkan dan membuatnya ketakutan. Beliau pulang ke rumah dan meminta isterinya, Khadijah, untuk menyelimutinya. Pengalaman di Gua Hira’ masih menghantui pikiran dan perasaannya. Beliau bercerita kepada isterinya bahwa dalam meditasinya itu ia melihat malaikat Jibril datang dan menyuruhku membaca kalam Ilahi yang ia tidak tahu bagaimana membacanya. Engan bimbingn Jibril, ia membaca ayat per ayat: “Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pumurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak dikehendakinya” (Al-‘Alaq/ 96: 1-5). Ayat-ayat itu begitu mengesankan dan membekas dalam jiwanya. Peristiwa itu terjadi pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan (610 M). Itulah wahyu pertama kalinay yang diterima Nabi dari Allah melalui Malaikat Jibril. Dan peristiwa inilah yang menandai kerasulan Muhammad SAW. 

Praktek Tahanunts di kalangan Sufi. Kebiasaan Nabi melakukan tahannuts itu menjadi teladan yang sangat baik bagi kalangan sufi untuk melakukan pendekatn diri kepada Tuhan. Dalam tradisi sufi dikenal istilah khalwat, istilah teknis dalam tradisi tasawuf yang berarti mengasingkan diri (seclusion) atau, pengunduran diri (retirement). Secara khusus, khalwat berarti mengasingkan diri di sebuah zawiyah (tempat khusus untuk ibadah para sufi), jauh dari keramaian selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melalui shalat, dzikir dan amaliah tertentu. 

Khalwat (sinonim dengan ‘uzlah, wahdah, infirad, ingita’), secara umum, merupakan perinsip dasar dalam tradisi asketisme (zuhud). Kegemaran para tokoh sufi muslim awal melakukan khalwat merupakan tema utama dalam literatur-literatur tasawuf. Tokoh sufi seperti Sufyan al-Tsauri (w.161/778), dikenal sebagai tokoh sufi yang gemar hidup menyendiri. Dzun Nun al-Mishri (w.245/860) belajar dari seorang petapa Syria tentang nikmatnya khalwat, dzikir, dan rahasia berbicara dengan Tuhan (al-khalwat bi al-munajatihi). Sufi lain Abu Bakr al-Syibli (w.334/945) pernah memberikan nasehat mengenai praktik khalwat: “Bergantunglh pada kesunyian, hapuskan namamu dari ingatan orang-orang di sekitarmu dan hadapkanlah wajahmu pada dinding untuk melakukan shalat sampai engkau meninggal dunia”. Al-Ghazali semasa pengembaraan intelektualnya pernah bertapa di atas menara masjid Jami’ Damaskus sekembalinya dari Bait al-Maqdis. Ia melakukannya selama 10 tahun. Selama masa itulah ia mengaku telah dikaruniai kekuatan yang lebih tinggi yang menyingkapkan padanya berbagai misteri dunia spiritual, yang oleh al-Ghazali disebut kasyf (pandangan langsung) dan dzawq (citarasa batiniah yang sangat halus). Al-Ghazali bahkan menganjurkan kepada para sufi untuk berkhalwat selama 40 hari dalam satu tahun, dan menjalainya dengan puasa dan shalat.[1]

2.     Hijrah
Perkataan  ''Hijrah''  berasal dari bahasa  ''Arab,  yang  artinya,  ''Meninggalkan suatu perbuatan'' atau ''Menjauhkan diri dari pergaulan''  atau  ''Berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain''.  Adapun artinya menurut syari'at hijrah itu adalah tiga macamnya.

Pertama.  Hijrah dari(meninggalkan) semua perbuatan yang terlarang oleh ALLAH.  Hijrah ini adalah wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang yang telah mengaku beragama Islam.  

Kedua, hijrah (mengasingkan) diri dari pergaulan orang-orang musyrik atau orang-orang kafir yang menfitnahkan yang telah memeluk islam.  Maka Hijrah ini adalah wajib juga dikerjakan oleh tiap-tiap orang islam. Jadi seorang  islam yang tidak dapat mengerjakan perintah - perintah islam dan menjauhi larangan-larangan Islam di suatu kampung, kota, daerah atau negeri, disebabkan oleh adanya fitnah yang diperbuat oleh orang-orang kafir atau orang - orang musyrik, maka wajib ia mengasingkan diri ke kampung, kota, daerah atau negeri lainnya, yang kiranya dapat dipergunakan untuk mengerjakan perintah-perintah Islam dan menjauhi larangan-larangannya. Dizaman Nabi Muhammad s.a.w.  Hijrah ini pernah dikerjakan oleh kaum Muslimin, yakni hijrah sebagian kaum Muslimin diwaktu itu ke negeri Habsyi (Abbessinia) sampai terjadi dua kali.

Ketiga, hijrah (berpindah) dari negeri atau daerah orang-orang kafir atau musyrik ke negeri atau daerah orang-orang Muslimin,  seperti hijrah Nabi Muhammad s.a.w dan kaum Muslimin dari Mekah ke Madinah.  Hijrah inipun wajib pula dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam.  Yaitu : orang-orang Islam yang berdiam atau tinggal di negeri  atau daerah orang - orang kafir atau musyrik, padahal ia tidak kuasa membongkar atau memusnahkan keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan mereka yang nyata-nyata terlarang oleh ALLAH, maka kaum Muslimin wajib berpindah (berhijrah) ke negeri atau daerah lain yang kiranya dapat jauh daripada keadaan - keadaan dan perbuatan - perbuatan yang terkutuk oleh ALLAH itu.[2]

      3.      Suluk
Istilah suluk, berasal dari kata “ Ass-Suluuk “ yang dapat diartikan dengan menempuh jalan, memasuki tempat , perangai atau kelakuan. Maka orang arab sering mengatakan “ Husnus Suluuk “ bagi perangai yang baik, dan mengatakan “ Suus Suluuk “ bagi kelakuan yang buruk.[3]

Dalam dunia tarekat, terminology “suluk” dimaknai latihan atau “riadhah” berjenjang dan dalam waktu tertentu dalam bimbingan guru tarekat. Orang yang mengikuti suluk disebut dengan “salik”. Tujuan awal dari suluk adalah “ Tazkiyah an nafs “ yang secara berjenjang al-maqomat meningkatkan sampai ke tujuan akhir sesuai dengan tradisi tarekat tertentu.
Merujuk pada kenyataan , bahwa kualitas spiritual dan religiositas salik tidak selalu sama, disamping tujuan yang ingin dicapai juga bersifat gradual, maka teknis pelaksanaan suluk juga diformulasi dalam beberapa tipe. Model atau tipe suluk yang biasa dijumpai dalam tarekat, berkisar pada empat jenis, yakni :
a)   Suluk Dzikir, kegiatan pokok dalam suluk adalah dzikir yang diselingi dengan ibadah sunnat lainnya sesuai dengan arahan mursyid. Suluk model ini biasanya bertujuan untuk penyempurnaan pelaksanaan ibadah.
b)  Suluk Riadhah, suluk latihan pisik dan psikis untuk membangun ketahanan rohani dan jasmani. Cara yang ditempuh biasanya dengan mengurangi makan-minum , mengurangi masa tidur, menekan dorongan hasrat-hasrat biologis , sedikit bicara. Tujuan esensial dari model suluk riadhah ini adalahbersifat moralitas melalui penguasaan hawa nafsu.
c)  Suluk Penderitaan, yakni suluk yang dijalani melalui berbagai rintangan dan kesulitan yang menuntut keuletan dan keberanian , kesabaran dan ketabahan. Suluk model ini biasanya dijalani melalui mengembaraan atau berkelana keberbagai kawasan. Tujuannya lebih terfokus pada pembajaan kepribadian yang merdeka, mandiri, dan percaya diri.
d)  Suluk Pengabdian, dalam hal ini pengabdian pada sesama, yaitu suluk yang bersifat humanistik, bersifat satria yang bertujuan tumbuh suburnya rasa solidaritas dan cinta sesame makhluk Tuhan.[4]

4.  Khalwat
Definisi Khalwat artinya menyepi, menyendiri, mengasingkan diri bersama dengan seseorang tanpa kersertaan orang lain. Secara istilah, khalwat sering digunakan untuk hubungan antara dua orang dimana mereka menyepi dari pengetahuan atau campur tangan pihak lain, kecuali hanya mereka berdua.

Orang yang berdoa pada malam hari menitikkan air mata sambil mengadu kepada Allah di saat orang-orang sedang asyik tidur, juga disebut berkhalwat. Yaitu merasakan kebersamaan dengan Allah SWT tanpa kesertaan orang lain. Seolah di dunia ini hanya ada dirinya saja dengan Allah SWT. Sedangkan kholwat laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah hal yang diaramkan di dalam syariat Islam. Dan Rasulullah SAW telah bersabda untuk memastikan keharamannya.[5]


      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما
“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad 1/18, Ibnu Hibban [lihat Shahih Ibnu Hibban 1/436], At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184, dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no. 430)
ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad dari hadits Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil jilid 6 no. 1813)
لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم فقام رجل فقال يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في غزوة كذا وكذا قال ارجع فحج مع امرأتك
“Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut.’ Lalu berdirilah seseorang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu.’” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim 2/975)[6]





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seulas Pesan Tentang Hari Itu

Pencairan Lapisan Es Memperburuk Pemanasan Global